Hari Air se-Dunia, Selamatkan Air Sebagai Sumber Kehidupan

maiwanews – Memperingati Hari Air se-Dunia yang ke-19 yang jatuh pada hari ini, 22 Maret 2012, WALHI Aceh menyerukan kepada segenap komponen masyarakat dan juga Pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah preventif dan pro aktif untuk menyelamatkan sumber-sumber air sebagai sumber kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya.

“Mari kita galang kekuatan bersama untuk penyelamatan lingkungan sebagai sebuah upaya refleksi, proyeksi dan momentum serta melakukan aksi-aksi nyata di lapangan sebagai gerakan konkrit penyelamatan lingkungan Aceh, termasuk dalam hal ini penyelamatan sumber daya air untuk penghidupan masyarakat Aceh dan ekosistem lainnya secara berkelanjutan”, ujar Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, M.P..

Hari Air se-Dunia atau World Water Day dan sering pula disebut sebagai World Day for Water merupakan hari perayaan yang ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat sedunia (internasional) akan pentingnya air bagi kehidupan serta untuk melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan.

Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh sejak tahun 2006 hingga saat ini, kerusakan DAS mencapai 46,40 persen atau 714.724 hektar (ha) dari 1.524.624 ha total luas DAS. Kawasan DAS yang kritis terjadi di pantai timur Aceh, seperti DAS Peusangan, yang merupakan wilayah sumber air lima kabupaten/kota, seperti Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah, diperkirakan kerusakan rata-rata di atas 70 persen.

Zulfikar menjelaskan, peringatan Hari Air se- Dunia dilaksanakan setiap tanggal 22 Maret. Berdasarkan sejarahnya Hari Air Sedunia dicetuskan kali pertama saat digelar United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Bumi oleh PBB di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Pada Sidang Umum PBB ke-47 yang dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 1992, keluarlah Resolusi Nomor 147/1993 yang menetapkan pelaksanaan peringatan Hari Air se-Dunia setiap tanggal 22 Maret dan mulai diperingati pertama kali pada tahun 1993.

Di Indonesia yang katanya negeri kaya air, ternyata juga tidak terlepas dari berbagai persoalan terkait air. Di kota-kota, berbagai permasalahan air telah menghantui setiap orang. Ketersediaan Air bersih yang semakin mahal dan langka serta pencemaran air menjadi masalah nyata terutama di kota-kota besar Indonesia. Untuk itu, peringatan Hari Air se- Dunia tahun 2012 ini seharusnya menjadi sebuah momentum yang mampu menggelitik kesadaran kita semua bahwa kita perlu melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan sumber-sumber air kita.

Tiga hal paling sederhana namun berdampak besar yang bisa kita lakukan adalah mulailah hemat air, mengurangi kegiatan yang berdampak terhadap pencemaran air dan berbagai aksi dan upaya penyelamatan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan sekaligus sebagai sumber mata air.

Aceh merupakan daerah aliran sungai yang terluas di Indonesia, terdapat 11 sungai besar yang mengaliri Aceh, namun pada saat ini sumber-sumber air tersebut telah terjadi penurunan yang signifikan di karenakan banyaknya aktifitas-aktifitas di hulu sungai Aceh, seperti penebangan liar, penambangan, penggalian berbagai material seperti galian C dan tambang, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang mengganggu menurunnya debit air yang mengaliri sungai-sungai di Aceh.

Berdasarkan catatan WALHI Aceh ada beberapa kejadian dimana terdapat daerah aliran sungai (DAS) yang rusak akibat pencemaran limbah pabrik, dan juga karena semakin maraknya penambangan galian C yang tidak terkontrol, seperti kejadian di sepanjang DAS Kreung Aceh di Aceh Besar. DAS di daerah ini rusak parah akibat maraknya galian C, sedangkan di Krueng Geukueh banyak ikan yang mati di sungai yang ada sekitar pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) diduga tercemar oleh limbah pabrik.

Ada pula kasus di salah satu pesantren di daerah Lhoksukon yakni sumur bor yang menyemburkan gas liar, namun karena masyarakat khawatir sumur tersebut mengandung gas liar maka pimpinan pesantren sepakat untuk menutup sumur itu, agar tidak di gunakan lagi untuk aktifitas santri dipesantren tersebut. Selain berbagai hal tersebut, gangguan terhadap kelestarian hutan sebagai sumber air dan sumber penghidupan berbagai makhluk juga semakin terancam.

Sepanjang tahun tingkat kerusakan hutan akibat deforestasi dan degradasi lahan hutan juga semakin tinggi. Berbagai catatan yang berhasil dihimpun oleh WALHI Aceh, tingkat kerusakan hutan di Aceh sepanjang tahun berkisar rata-rata antara 20.000 hingga 32.000 hektar, bahkan bisa lebih besar dari yang diperkirakan.

Banjir yang beberapa waktu terakhir ini kerap terjadi di banyak wilayah di Aceh, diyakini terjadi karena tingkat kerusakan wilayah hulu berbagai daerah aliran sungai di Provinsi Aceh semakin tinggi. Tanpa aksi nyata dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah setempat, diyakini berbagai bencana alam karena kerusakan lingkungan akan semakin sering terjadi di Aceh. (Foto: Rain Drop On Water by Leon Brooks)