maiwanews – Sidang lanjutan kasus penggelapan dan korban Lion Air dengan tersangka mantan Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyuddin dilakukan dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Pentuntut umum (JPU).
Dalam tuntutannya yang dibacakan bergantian, JPU mendakwa Ahyuddin telah menggelapkan dana ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang diberikan oleh perusahaan Boeing sebesar Rp117,98 miliar.
Tindakan itu menurut jaksa, dilakukan Ahyuddin bersama-sama dengan Ibnu Khajar selaku Presiden ACT periode 2019-2022 dan Hariyana Hermain selaku Senior Vice President dan Anggota Dewan Presidium ACT.
Jaksa mengatakan, mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum dengan memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.
“Barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu,” kata jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11).
Jaksa menyebut Ahyuddin bersama-sama Ibnu Khajar dan Hariyana telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp117,98 miliar untuk kegiatan di luar implementasi Boeing tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan ataupun dari perusahaan Boeing.
“Telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp117.982.530.997 miliar di luar dari peruntukannya yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak perusahaan Boeing sendiri,” ujar jaksa.
Atas perbuatannya tersebut, Ahyuddin, Ibnu Khajar, dan Heriyana didakwa melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP.
Perkara berawal dari peristiwa kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 tanggal 29 Oktober 2018 yang mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia. Pesawat tersebut diproduksi perusahaan Boeing.
Atas kejadian itu, Boeing memberikan dana Boeing Community Investment Fund (BCIF) kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat sebesar USD 25 juta. Masing-masing ahli waris semestinya mendapat dana sebesar 144.320 dolar AS atau senilai Rp2 miliar dari Boeing.
Namun faktanya, dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, melainkan diterima oleh organisasi amal atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban dalam hal ini Yayasan ACT.
Hal itu terjadi karena Yayasan ACT sebelumnya menghubungi keluarga korban dan menyebut telah ditunjuk pihak Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial atau BCIF.
Selanjutnya, Yayasan ACT menghubungi keluarga korban lalu meminta untuk menyetujui pengelolaan dana sosial yang dilakukan oleh pihaknya sebesar USD144.500.
Modus Ibnu Khajar dan kawan-kawan saat itu kata jaksa, menyebut bahwa dana tersebut nantinya akan digunakan untuk pembangunan fasilitas sosial.